Follow us On Twitter

Support us. Go follow @SantapanMalming | Spiritual Tweets
https://twitter.com/SantapanMalming

Ads by Santapan Malam Minggu

Senin, 11 Maret 2013

// //

Kesaksian Eps Pdt. David Laban

Hi guys. Ini adalah artikel yang menceritakan tentang kesaksian seorang Hamba Tuhan. Kesaksian ini saya ketahui saat Beliau menjadi pendeta dan khotbah di gerejaku. Dan menurutku kesaksiannya sangat menarik, dan semoga dengan adanya kesaksian ini, dapat semakin membuat banyak orang di pulihkan di dalam Tuhan.

Yup, ini adalah seorang Hamba Tuhan yang sangat taat kepada Tuhan. Namanya adalah David Laban. Dan ia adalah seorang pendeta yang baru saja kembali ke Indonesia.

Dulu ia di pakai Tuhan agar dapat memberitakan injil di California. Namun terakhir ia dan keluarga tinggal di LA, mereka tinggal di Euless, Texas. Ia memiliki seorang istri yang sangat dicintainya yang bernama Mary Tjan,dan memiliki dua orang anak yang bernama Raymond dan Gerry.

Ia membawakan khotbah yang bertemakan bersyukur. Awal-awal aku melihatnya, seperti biasa saja, dan terlihat sekali bahwa ia adalah orang yang bijaksana. Aku sangat suka sekali dengan kalimat yang ia sampaikan bahwa, "disaat kita senang, bersyukur itu sangat mudah. Tapi di saat ada sebuah pencobaan yang sedang kita alami, apakah kita masih bisa mengucap syukur?"

Itu adalah pernyataan yang sangat berat. Siapa pun orang kalau di tanya pilih senang atau susah, pasti tidak akan ada yang bilang ingin mendapatkan kesusahan. Tapi inilah hidup. Segala sesuatu pasti ada rintangannya. Dan itulah penyebab mengapa kita harus percaya, dan harus mau menaruh hidup kita di tangan Tuhan, karena Tuhan kita Yesus Kristus adalah Tuhan yang tidak ingin melihat anaknya menderita. Ia selalu menjaga kita di setiap kita senang atau pun susah. Tapi, apakah kita pun selalu bersyukur di saat senang atau pun susah? Itulah kesimpulan sekaligus teguran yang aku dapat dari khotbah Pendeta David Laban.

Namun suasana mulai berubah di saat ia mengatakan bahwa jemaat-jemaat banyak yang ingin konseling tentang masalahnya kepada Pendeta. Dan Pendeta pun pasti meluangkan waktunya. Tapi pertanyaannya adalah, di saat Pendetanya sendiri yang sedang ada masalah, ia harus datang ke siapa selain pada Tuhan?

Dan singkat cerita ia berkata "aku sekarang ingin memberikan kesaksian." Dan semuanya pun sekejap langsung hening.

Ia pun memberikan keaksiannya.
"Ini berawal saat bulan Agustus 2011, tiba-tiba istri saya jatuh. Saya pun panik lalu pergi mendatangi istri saya, dan menggendongnya. Saya bertanya, ada apa? Ia menjawab tidak tahu. Saya merasa kaki kiri saya seperti tidak ada tenaga, dan seperti tidak ada kontak dengan otak. Saya pun panik, dan menelepon seorang jemaat di gereja yang berprofesi sebagai dokter. Dan jemaat ini menjawab okay pastor bawa saja kesini. Dan dugaan sementara adalah istriku mengalami stroke. Namun jemaat tersebut menganjurkan agar di bawa ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitas kedokterannya.
Dan dokternya mengatakan bahwa di dalam otaknya itu seperti ada awan-awan. Karena saya orang awam, saya bilang kepada dokternya agar ambil saja awan-awan itu. Namun dokter bilang bahwa itu tidak bisa diambil. Saya pun semakin panik. Dokter, apa yang menyebabkan istri saya bisa terkena penyakit ini?? Namun dokter pun menjawab penyakit ini belum diketahui penyebabnya. Saat itu pula saya merasa saya hancur. Aku pun bertanya, lalu apa obatnya? Namun dokter tersebut menjawab, 'Pastor, penyebabnya pun kita tidak tahu. Jadi kita pun tidak punya obatnya.' Dokter, ini Carlifornia! Ini negara maju! Masa tidak tahu obatnya?! Dokter itu pun hanya menjawab maaf pastor. Lalu apa yang harus saya lakukan? Saya pun menangis.
Tapi ada pencegahnya pastor. Apa? Apa pencegahnya? Saya beli obat itu! Namun ternyata obatnya sangat mahal. Yaitu sekitar 32 juta kalau dirubah kedalam rupiah. Saya tidak punya uang sebanyak itu. Dan ternyata itu hanya untuk 1 bulan. Saya kaget, apa saya harus mengeluarkan uang 32jt untuk setiap bulan? Saya pun mencoba meminta diskon. Jemaat-jemaat di gereja terus berdoa dan berdoa. Ternyata Tuhan memang baik. Pihak perusahaannya pun menelepon saya dan menanyakan berapa harga yang mampu saya beli. Kembali lagi itu menjadi beban bagi saya. Saya tidak punya uang yang banyak. Namun dengan iman terhadap Tuhan Yesus, saya mencoba menawarnya dengan harga 25 dollar Amerika. Dan ternyata pihak perusahaan menerimanya. Saya pun merasa lega dan tidak tahu harus bilang apa kepada Tuhan.
Saya mencintai istri saya. Walau keadaannya seperti ini, dengan duduk di kursi roda, saya akan tetap mencintainya. Saya memandikannya dua kali sehari. Saya menyisir rambutnya. Namun terkadang ada rambut yang tersangkut, sehingga membuat syarafnya sakit, ia pun marah kepada saya. Ia berkata, kamu ko ga bisa nyisir saja? Sakit! aku tidak kuat menahannya. Itulah kalimat yang terucap dari mulutnya. 'Maafkan aku. aku bisa. aku bisa. aku bisa. Maafkan aku.'
Dan untuk kesekian kalinya aku merasa bimbang. Kali ini aku di hadapkan dengan pilihan yang sangat berat. Saya harus memilih di antara jemaat di gereja, atau istri saya. Karena kondisinya ini, membuat ia tidak bisa datang ke gereja karena jarak yang jauh. Dan jemaat pun tahu keadaan kami. Saya tidak tahu harus pilih yang mana.
Dengan meneteskan air mata, saya menjawab saya pilih istri saya. Saya tidak mau meninggalkannya. Saya ingin merawat dia selalu, karena saya mencintainya. Dan untuk terakhir kalinya, sebelum saya kembali ke Indonesia, saya harus memberkati pernikahan di gereja.
Pernikahan antara John dan Anita. Seperti biasa, sebelum saya memberkati mereka, saya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang biasa di tanyakan pendeta kepada mempelai.
John, apakah kamu menerima Anita sebagai istrimu satu-satunya disaat senang atau pun sedih? Iya saya menerima.Saya pun mengucapkan hal yang sama kepada Anita.
John, apakah kamu menerima Anita sebagai istrimu satu-satunya disaat suka mau pun sakit? Iya saya menerima. Saya kembali mengucapkan pertanyaan yang sama kepada Anita.
Dan yang terakhir, John apakah kamu menerima Anita sebagai istrimu satu-satunya dikala sehat atau pun sakit? Saya mengucapkan kata sakit dengan tegas. Saya merasa seperti pertanyaan itu menjadi bumerang kepada diri saya. Apakah saya tetap menerima istriku ini walau sekarang keadaannya berbeda?
Saya tidak tahu lagi apa yang diucapkan John. Tapi saya langsung menjawab 'Ya. Aku terima dia Tuhan' Aku pun menangis dan lari meninggalkan mimbar, pergi kebelakang memeluk istriku sambil menangis dan aku mengucapkan 'aku terima kamu. aku sayang kamu' Aku peluk dia dan aku cium dia sebagai tanda bahwa aku memang menerima keadaannya."

Dari kesaksian di atas menunjukkan apakah kita masih ingat untuk mengucap syukur kepada Tuhan? Jadikan kesaksian ini sebagai cambukan kepada kita, agar kita sadar bahwa Tuhan selalu beserta kita. Tuhan selalu ada untuk kita. Tapi apakah kita selalu ada untuk Tuhan? Apakah kita selalu ingat untuk mengucapkan kata terima kasih kepada Tuhan?

God Bless.